Publikasi Ilmiah

APERSEPSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Oleh : Afwan Tarihoran, M.Pd.
A. Pendahuluan
Secara defenisi kata tenaga
edukatif yang dalam hal ini kita sebut “Guru” bermakna sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik[1].
Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki profesionalitas tertentu yang
tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang
memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. Guru profesional adalah guru
yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial
dan kompetensi profesional.
Peningkatan profesi guru berarti
pembinaan dan pengembangan ke 4 kompetensi guru yang dilakukan melalui strategi
dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun non diklat. Peningkatan
kompetensi melalui diklat misalnya magang, mitra sekolah, pelatihan khusus,
pembinaan internal sekolah, pendidikan lanjut. Non diklat misalnya diskusi
masalah pendidikan, seminar, workshop, penelitian, penulisan buku ajar,
pembuatan media[2].
Untuk meningkatkan profesionalisme guru dengan 4 kompetensi dimaksud di atas sesuai judul materi yang diberikan kepada saya. Rasanya hal itu tidak memungkinkan untuk kita uraikan dalam kesempatan ini. Oleh karena itu kesempatan kali ini kita akan membicarakan bagian kecil dari kompetensi pedagogik berupa keterampilan dasar mengajar yaitu apersepsi dengan judul “Apersepsi Dalam Proses Pembelajaran”.
B. Keterampilan Dasar Mengajar
Seorang guru yang profesional
tentunya memiliki kompetensi pedagogik, diantaranya adalah kemampuan atau
keterampilan dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran, sering disebut
dengan keterampilan dasar mengajar. Beberapa keterampilan dasar mengajar: Keterampilan
bertanya, Keterampilan memberi penguatan, Keterampilan mengelola kelas, Keterampilan
menjelaskan, Keterampilan membimbing kelompok kecil, Keterampilan mengadakan
variasi, Keterampilan membuka dan menutup pelajaran, Keterampilan
mengajar kelompok kecil[3]
Usaha atau kegiatan yang
dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan pra
kondisi bagi siswa agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang
dipelajarinya ini dinamakan dengan membuka pelajaran. Usaha tersebut akan
memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar. Kegiatan membuka
pelajaran dilakukan oleh guru tidak harus awal jam pelajaran yang
diberikan selama jam pelajaran itu. Membuka pelajaran dapat dilakukan dengan
cara mengemukakan tujuan yang akan dicapai, menarik perhatian
siswa, memberi acuan, dan membuat kaitan antara materi pelajaran yang telah
dikuasai oleh siswa dengan bahan yang dipelajarinya[4].
Berdasar saat guru memulai mengajar atau membuka pelajaran ini guru dapat dibedakan atas dua kelompok. Pertama, guru lansung mengajarkan materi yang akan di ajarkan. Biasanya guru ini masuk kelas, memberi salam kemudian memberi instruksi. Kedua, guru yang mulai mengajar dengan menyampaikan berbagai pengalaman menarik terlebih dahulu untuk menarik perhatian siswa misalnya cerita lucu, gambar menarik, melantunkan musik dan kegiatan lain yang mengundang perhatian siswa. Guru dalam kelompok pertama adalah guru yang mengajar tanpa apersepsi dan kelompok kedua guru yang menggunakan apersepsi, artinya guru memberikan rangsangan (stimulus) diawal pembelajaran.
C. Apersepsi Dalam Proses Pembelajaran
Sebagian guru kurang memahami tentang
apersepsi dan banyak guru
beranggapan bahwa apersepsi hanya berpengaruh kecil
terhadap proses pembelajaran, padahal kenyataannya belum tentu demikian.
Menit-menit pertama dalam proses pembelajaran merupakan hal yang terpenting
untuk proses selanjutnya. Teori apersepsi mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah memerintah
dirinya sendiri, lalu melakukan reaksi atau berekasi terhadap instruksi yang
berasal dari lingkungannya jika dia dibekali oleh dorongan atau rangsangan
(stimulus) khusus[5].
Pertama: setiap manusia adalah makhluk
pembelajar. Apabila semua guru memahami ini maka akan muncul paradigma yang
menyatakan bahwa siswa di kelas adalah para makhluk yang sebenarnya siap untuk
belajar. Jika ada siswa yang tidak mau belajar, itu disebabkan faktor luar yang
mempengaruhinya. Untuk siswa mau belajar kembali tentunya sangat terkait
dengan cara guru dan komponen sekolah
lain dalam melakukan pendekatan kepada siswa tersebut.
Kedua, secara alamiah manusia punya
kemampuan memerintah kepada dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu, yang
berasal dari rangsangan dan kualitas informasi yang masuk kedalam otaknya.
Banyak guru yang memiliki pandangan lain terhadap hal ini. Siswa yang tidak mau
menuruti instruksi guru dianggap anak yang nakal, tidak mau belajar. Padahal
kualitas informasi itulah yang menjadikan siswa mau atau tidak melakukan
instruksi sebagai reaksinya. Jika guru rajin menerapkan apersepsi siswa akan
mau melaksanakan instruksi dengan cepat. Bahkan siswa menganggap instruksi itu
berasal dari dirinya sendiri dengan rasa keingin tahuan siswa.
Ketiga, manusia bereaksi terhadap
instruksi yang berasal dari lingkungannya jika dibekali dorongan (stimulus)
khusus. Misalkan 2 orang guru mengajar dengan materi yang sama, guru A mendapat
antusias dari siswa dalam melaksanakan instruksi sedangkan guru B tidak dan
hasilnya pun berbeda, kenapa? Mungkin karena guru A melakukan dorongan
(stimulus) khusus kepada siswa sedang guru B tidak.
Bobbi Deporter menjelaskan
kerangka rancangan quantum teaching
bernama TANDUR, yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan,
Ulangi dan Rayakan. Tumbuhkan adalah aktivitas menyertakan
diri siswa, pikat siswa, puaskan AMBAK (Apa Mamfaatnya Bagi
Ku). Alami adalah memberikan pengalaman belajar, tumbuhkan
kebutuhan untuk mengetahui. Namai adalah memberikan data tepat saat
minat memuncak[6]. Ketiga bagian (tumbuhkan,
alami dan namai) merupakan bagian dari apersepsi.
Dari uraian di atas bahwa rangsangan
(stimulus) khusus pada proses pembelajaran yang bertujuan meraih perhatian
siswa adalah apersepsi. Apersepsi ini sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran
terutama pada saat memulai/ membuka pembelajaran.
D. Sumber-sumber Apersepsi
Gelombang otak manusia dapat
dibedakan atas 4 zona yaitu delta, teta, alfa dan beta[7]. Zona
Alfa merupakan kondisi yang ampuh untuk melakukan apersepsi dalam proses
pembelajaran.
1. Gelombang Delta (0,5 – 3,5 Hz)
Kondisi
seorang dalam gelombang delta adalah tidur tanpa mimpi. Dalam
kondisi delta paling tidak tepat dalam untuk proses belajar sebab tidak mungkin
guru memberikan materi kepada siswa yang sedang nyaman tidur.
2. Gelombang Teta (3,5 – 7 Hz)
Kondisi seseorang
dalam kondisi teta adalah tidur dan bermimpi. Di zona Teta
seseorang dapat mengeluarkan ide-ide kreatif atau mendapat jawaban atas sesuatu
yang sulit diperoleh sebelumnya. Termasuk dalam zona teta ini yaitu melamun,
membayangkan flim yang pernah ditonton, mengantuk dan akhirnya tertidur.
Kondisi ini kurang baik dalam proses pembelajaran karena pada kondisi ini siswa
cendrung mengeluarkan sesuatu.
3. Gelombang Alfa (7 – 13 Hz)
Zona alfa
adalah tahap paling iluminasi (cemerlang) proses kreatif otak seseorang. Seseorang yang sedang masuk
dalam kondisi alfa akan mengalami relaks tapi waspada; seperti sedang
melamun tetapi sebenarnya sedang berpikir. Intinya otak bekerja dengan relaks.
Kondisi ini paling baik untuk belajar sebab neuron (sel saraf) sedang berada
dalam suatu harmoni (keseimbangan). Kondisi pada zona ini dipercaya oleh banyak
ahli tepat untuk melakukan sugesti diantaranya proses belajar mengajar.
4. Gelombang Beta (13 – 25 Hz)
Zona beta,
saat seseorang sedang marah, stres dan pusing ketika seseorang berada dalam
kenyataan sehari-hari. Di kelas kondisi beta ditandai oleh para siswa asyik
mengobrol sendiri, tidak memberikan perhatian kepada guru, siswa sedang
berkelahi atau menunjukkan mimik sedang marah, tidak enak hati. Jika kondisi
seperti ini, sebaik apapun anda mengajar, otomatis semuanya tidak berhasil.
Penjelasan tentang gelombang otak
di atas semakin jelas bahwa kondisi terbaik untuk belajar siswa adalah zona
alfa. Jika siswa sedang stres, marah sebaiknya jangan meneruskan proses
pembelajaran. Jika siswa melamun,
mengantuk apalagi tertidur hentikan proses pembelajaran karena hal itu percuma
saja, karena siswa tidak pada kondisi teta atau bahkan delta. Lalu bagaimana
cara mengatasinya? Guru harus berusaha sekuat tenaga mengembalikan siswa
ke zona alfa dengan cara memberikan stimulus khusus (melakukan apersepsi).
Kondisi alfa adalah kondisi yang
relaks dan menyenangkan. Siswa masuk ke zona alfa jika siswa senang yang
ditandai dengan wajah ceria, tersenyum dan tertawa. Menurut Munif Chatib ada 4
cara yang dapat membawa siswa pada kondisi zona gelombang alfa yaitu ice
breaking, fun story, musik dan brain gym[8].
Ice breaking merupakan kegiatan siswa misalnya berdiri sejenak, bertepuk tangan, berbaris dll. Fun story dapat berupa cerita lucu, gambar lucu, atau teka teka yang dapat diperoleh melalui pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, buku atau internet. Musik dapat berupa lagu-lagu atau alunan musik. Brain gym adalah senam otak yang merupakan gerakan tubuh sederhana misalnya menggerakkan bola mata kekiri dan kekanan, dalam kondisi duduk tumpangkan kaki kiri di atas kaki kanan dan tangan kiri di ata tangan kanan.
E. Penutup
Guru sebagai tenaga profesional
mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik. Sebagai tenaga profesional guru harus memiliki
keterampilan mengajar. Apersepsi merupakan hal yang berpengaruh dalam proses
pembelajaran, oleh karena itu dalam mengajar seharus seorang guru profesional
mampu memberikan stimulus khusus bagi siswa sebagai bagian dari keterampilan
mengajar. Pemberian apersepsi untuk mengembalikan gelombang otak siswa pada
zona alfa yang dapat dilakukan
dengan cara ice breaking, fun story, musik dan brain gym.
----oo0oo----af
[1] Sudarman Danim dan
Khairil, Profesi Kependidikan, Alfabeta, 2010. Bandung, hal 5
[2] Sudarman Danim dan
Khairil Ibid hal 41
[3] Ahmad Sabri, Strategi
Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, 2007. Padang, hal
79-106
[4] Ahmad Sabri, ibid hal
99-100
[5] Munif Chatib, Gurunya
Manusia, Kaifa, 2013. Bandung hal 81
[6] Bobbi DePorter, Quantum
Teaching, , Kaifa, 2010. Bandung hal 128
[7] Munif Chatib, op.cit hal
88-91
[8] Munif Chatif, op.cit hal
92